Sunday, November 16, 2014

Makalah mengenai "Pernikahan"



Pengertian, Hikmah, Tujuan dan Hukum Nikah

BAB I
PENDAHULUAN

       A.    Latar Belakang
Apabila kita berbicara tentang pernikahan maka dapatlah kita memandangnya dari dua buah sisi. Dimana  pernikahan merupakan sebuah perintah agama. Sedangkan di sisi lain adalah satu-satunya jalan penyaluran sexs yang disah kan oleh agama.dari sudut pandang ini, maka pada saat orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki keinginan untuk melakukan perintah agama, namun juga memiliki keinginan memenuhi kebutuhan biologis nya yang secara kodrat memang harus disalurkan.
Sebagaimana kebutuhan lain nya dalam kehidupan ini, kebutuhan biologis sebenar nya juga harus dipenuhi. Agama islam juga telah menetapkan bahwa stu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia adalah hanya dengan pernikahn, pernikahan merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita lebih mencermati kandungan makna tentang masalah pernikahan ini. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa pernikahan ternyata juga dapat membawa kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran kebutuhan sex namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia dimana setiap manusia dapat membangun surge dunia di dalam nya. Smua hal itu akan terjadi apabila pernikahan tersebut benar-benar di jalani dengan cara yang sesuai dengan jalur yang sudah ditetapkan islam.
       B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas timbul permasalahan yang perlu di dibahas sedikit tentang:
       1.      Definisi pernikahan
       2.      Hikmah/manfaat pernikahan
       3.      Tujuan Pernikah dalam islam
       4.      Hukum nikah
       5.      Bagaimana bimbingan memilih jodoh menurut islam
      
       C.    Tujuan Pembahasan
       1.      Untuk mengetahui makna dari pernikahan itu
       2.      Untuk memahami hikmah, hukum-hukum, dan tujuan pernikahan
       3.      Agar bisa memilih pasangan hidup dengan tepat menurut pandangan islam

BAB II
PEMBAHASAN

       A.    Pengertian Pernikahan
Perkahwinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Quran bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkahwinan Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkahwinan dan mengharamkan zina.
Adapun nikah menurut syari’at nikah juga berarti akad. Sedangkan pengertian hubungan badan itu hanya metafora saja.
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria calon calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Melalui makalah yang singkat ini insyaallah kami akan membahas perkawinan menurut hukum islam.
Pernikahan adalah sunnah karuniah yang apabila dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karna tidak mengikuti sunnah rosul.
Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insan dengan jenis berbeda yaitu    laki-laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad.
Suatu pernikahan mempunyai tujuan yaitu ingin membangun keluarga yang sakinah mawaddah warohmah serta ingin mendapatkan keturunan yang solihah. Keturunan inilah yang selalu didambakan oleh setiap orang yang sudah menikah karena keturunan merupakan generasi bagi orang tuanya.
Kata Nikah Dalam Al Qur’an
Dalam al-Qur’an dan as-Sunah kata “Nikah” kadang digunakan untuk menyebut akad nikah, tetapi kadang juga dipakai untuk menyebut suatu hubungan seksual.
Contoh menikah yang artinya akad nikah adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala  :
÷ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
 “Maka lakukanlah akad nikah dengan wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”
Contoh lain adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala  :
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
 “Dan janganlah kamu lakukan akad nikah dengan wanita-wanita yang telah melakukan akad nikah dengan ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”
Adapun contoh menikah yang artinya melakukan hubungan seksual adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala  :
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia melakukan hubungan seksual dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”
 Arti nikah pada ayat di atas adalah al-wath-u atau al-jima’u (melakukan hubungan seksual), bukan akad nikah. Karena seseorang tidak disebut suami, kecuali kalau sudah melakukan akad nikah.
Seorang istri yang telah diceraikan suaminya yang pertama sebanyak tiga kali, dan sudah menikah dengan suami yang kedua, maka dia harus melakukan “ nikah “ dengan suaminya yang kedua tersebut, kemudian diceraikannya, sebelum kembali kepada suaminya yang pertama. Melakukan “ nikah “ dengan suami yang kedua, maksudnya adalah melakukan “ hubungan seksual “.
Nikah dalam arti melakukan hubungan seksual pada ayat di atas dikuatkan oleh hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ - يَعْنِى ثَلاَثًا - فَتَزَوَّجَتْ زَوْجًا غَيْرَهُ فَدَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يُوَاقِعَهَا أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الأَوَّلِ قَالَتْ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- لاَ تَحِلُّ لِلأَوَّلِ حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَةَ الآخَرِ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا
“ Dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya mengenai seorang laki-laki yang mencerai isterinya tiga kali, kemudian wanita tersebut menikah dengan laki-laki yang lain dan bertemu muka dengannya kemudian ia mencerainya sebelum mencampuri, maka apakah ia halal bagi suaminya yang pertama? Aisyah berkata; tidak. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama hingga ia merasakan manisnya (hubungan seksua) dengan suaminya yang lain, dan ia (sang suami) juga merasakan manisnya (hubungan seksual) dengannya."
Contoh dari hadits yang menunjukan bahwa arti nikah adalah melakukan hubungan seksual adalah sabda Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam :
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إلَّا النِّكَاح
“ Lakukanlah segala sesuatu (dengan istrimu yang sedang haid) kecuali nikah, yaitu jima’”
Dalam riwayat lain disebutkan :
اصْنَعُوْا كُلّ شَيْءٍ إلّا الجِمَاع
“ Lakukanlah segala sesuatu (d engan istrimu yang sedang haid) kecuali  jima’”
 Setelah kita mengetahui bahwa nikah mempunyai dua arti, yaitu akad nikah dan melakukan hubungan seksual, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita membedakan antara dua arti tersebut di dalam suatu pembicaraan ? Para ulama membedakan antara keduanya dengan keterangan sebagai berikut : Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan lain, yaitu fulanah binti fulan, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan akad  nikah dengannya. Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki  menikah dengan istrinya, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan hubungan seksual dengannya.
 Dari kedua makna nikah di atas, mana yang hakikat dan mana yang majaz ? Para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : bahwa nikah pada hakikatnya digunakan untuk menyebut akad nikah, dan kadang dipakai secara majaz untuk menyebutkan hubungan seksual. Ini adalah pendapat shahih dari madzhab Syafi’iyah, dishahihkan oleh Abu Thoyib, Mutawali dan Qadhi Husain. Ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Syekh al-Utsaimin.
Pendapat kedua : bahwa nikah pada hakikatnya dipakai untuk menyebut hubungan  seksual. Tetapi kadang dipakai secara majaz untuk menyebut akad nikah. Ini adalah pendapat al-Azhari, al-Jauhari dan az-Zamakhsari, ketiga orang tersebut adalah pakar dalam bahasa Arab .

       B.     Hikmah Pernikahan
Allah SWT berfirman :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(Ar-ruum,21)
Pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia didunia ini berlanjut, darigenerasi ke generasi. Selain juga menjadi penyalur nafsu birahi, melalui hubungan suami istri serta menghindari godaan syetan yang menjerumuskan. Pernikahan juga berfungsi untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan pada asas saling menolong dalam wilayah kasih sayang dan penghormatan muslimah berkewajiban untuk mengerjakan tugas didalam rumah tangganya seperti mengatur rumah, mendidik anak, dan menciptakan suasana yang menyenangkan. Supaya suami dapat mengerjakan kewajibannya dengan baik untuk kepentingan dunia dan akhirat.
Adapun hikmah yang lain dalam pernikahannya itu yaitu :
       a)      Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak dan berketurunan.
       b)      Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan mampu mengekang syahwat seta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan.
       c)      Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn cara duduk-duduk dan bencrengkramah dengan pacarannya.
       d)     Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan.

       C.    Tujuan Pernikahan dalam Islam
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”.
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim.”
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
“Artinya : “Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “ .
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib.
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !” .
5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”.
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.
       D.    Hukum Nikah
Nikah merupakan amalan yang disyariatkan, hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(An-Nisaa’, 3)
Dari keterangan diatas disimpulkan bahwa hukum nikah ada 5 :
     ·      Wajib kepada orang yang mempunyai nafsu yang kuat sehingga bias menjerumuskannya ke lembah maksiat (zina dan sebagainya) sedangkan ia seorang yang mampu.disini mampu bermaksud ia mampu membayar mahar (mas berkahminan/dower) dan mampu nafkah kepada calon istrinya.
     ·      Sunat kepada orang yang mampu tetapi dapat mengawal nafsunya.
     ·      Harus kepada orang yang tidak ada padanya larangan untuk berkahwin dan ini merupakan hukum asal perkawinan
     ·      Makruh kepada orang yang tidak berkemampuan dari segi nafkah batin dan lahir tetapi sekadar tidak memberi kemudaratan kepada isteri.
     ·      Haram kepada orang yang tidak berkempuan untuk memberi nafkah batin dan lahir dan ia sendiri tidak berkuasa (lemah), tidak punya keinginan menikah serta akan menganiaya isteri jika dia menikah.
Hukum menikah dibagi menjadi dua ; pertama : hukum asal dari pernikahan, kedua : hukum menikah dilihat dari kondisi pelakunya.

 

I.                    Hukum Asal Dari Pernikahan

Adapun hukum asal dari pernikahan, para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : bahwa hukum asal pernikahan adalah wajib. Ini adalah pendapat sebagian ulama, berkata Syekh al-Utsaimin :
“Banyak dari ulama mengatakan bahwa seseorang yang mampu (secara fisik dan ekonomi) untuk menikah, maka wajib baginya untuk menikah, karena pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban, dan di dalam pernikahan tersebut terdapat maslahat yang agung.“
Dalil-dalil pendapat ini adalah sebagai berikut :
Pertama : Hadist Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata :
قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم  يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
 Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta), hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat) .”
Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam dalam hadist di atas memerintahkan para pemuda untuk menikah dengan sabdanya “falyatazawaj” (segeralah dia menikah),  kalimat tersebut mengandung perintah. Di dalam kaidah ushul fiqh disebutkan  bahwa : “al ashlu fi al amr  lil wujub “ (Pada dasarnya perintah itu mengandung arti kewajiban).
Kedua : bahwa menikah itu merupakan perilaku para utusan Allah subhanahu wa ta’ala   , sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala    :
ô وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
 “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”
Ketiga : hadist Anas bin Malik radhiyallahu ta’ala :
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun berkata, “Saya tidak akan menikah.” Kemudian sebagian lagi berkata, “Aku tidak akan makan daging.” Dan sebagian lain lagi berkata, “Aku tidak akan tidur di atas kasurku.” Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: “Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku.”
Keempat : karena tidak menikah itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang Nashara, sedang menyerupai mereka di dalam masalah ibadat adalah haram. Berkata Syekh al Utsaimin :
“ …dan karena dengan meninggalkan nikah padahal ia mampu, merupakan bentuk penyerupaan dengan orang-orang Nashara yang meninggalkan nikah sebagai bentuk peribadatan mereka. Sedangkan menyerupai ibadat non muslim hukumnya adalah haram. “
Karena menyerupai mereka haram, maka wajib meninggalkan penyerupaan tersebut dengan cara menikah, sehingga menikah hukumnya wajib.
 Pendapat Kedua :  bahwa hukum asal dari pernikahan adalah sunnah, bukan wajib. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Nawawi : “Ini adalah madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban… dan tidak diketahui seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya dari pengikut Ahlu Dhahir (Dhahiriyah), dan riwayat dari Imam Ahmad. “
Dalil-dalil mereka adalah :
Pertama : Firman Allah subhanahu wa ta’ala     :
÷ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Berkata Imam al-Maziri : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama (bahwa menikah hukumnya sunnah), karena Allah subhanahu wa ta’ala    memberikan pilihan antara menikah atau mengambil budak secara sepakat. Seandainya menikah itu wajib, maka Allah tidaklah memberikan pilhan antara menikah atau mengambil budak. Karena menurut ulama ushul fiqh bahwa memberikan pilihan antara yang wajib dan yang tidak wajib, akan menyebabkan hilangnya hakikat wajib itu sendiri, dan akan menyebabkan orang yang  meninggalkan kewajiban tidak berdosa. “
Perintah yang terdapat dalam hadist Abdullah bin Mas’ud di atas bukan menunjukkan kewajiban, tetapi menunjukan “al-istihbab “(sesuatu yang dianjurkan).
Kedua : Bahwa menikah maslahatnya kembali kepada orang yang melakukannya terutama yang berhubungan dengan pelampiasan syahwat, sehingga dikatakan bahwa perintah di atas sebagai bentuk pengarahan saja.
II. Hukum Menikah Menurut Kondisi Pelakunya
Adapun hukum nikah jika dilihat dari kondisi orang yang melakukannya adalah sebagai berikut :
Pertama : Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang mempunyai hasrat yang tinggi untuk menikah karena syahwatnya bergejolak sedangkan dia mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup. Dia merasa terganggu dengan gejolak syahwatnya, sehingga dikawatirkan akan terjerumus di dalam perzinaan.
Begitu juga seorang mahasiswa  atau pelajar, jika dia merasa tidak bisa konsentrasi di dalam belajar, karena memikirkan pernikahan, atau seandainya dia terlihat sedang belajar atau membaca buku, tapi ternyata dia hanya pura-pura, pada hakekatnya dia sedang melamun tentang menikah dan selalu memandang foto-foto perempuan yang diselipkan di dalam bukunya, maka orang seperti ini wajib baginya untuk menikah jika memang dia mampu untuk itu secara materi dan fisik, serta bisa bertanggung jawab, atau menurut perkiraannya pernikahannya akan menambah semangat dan konsentrasi dalam belajar.
Kedua : Nikah hukumnya sunah  bagi orang yang mempunyai syahwat, dan mempunyai harta, tetapi tidak khawatir terjerumus dalam maksiat dan perzinaan. Imam Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim menyebutkan judul dalam Kitab Nikah sebagai berikut : “Bab Dianjurkannya Menikah Bagi Orang Yang Kepingin Sedangkan Dia Mempunyai Harta “.
 Ketiga : Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai syahwat, tetapi tidak mempunyai harta. Atau bagi orang yang mempunyai harta tetapi tidak mempunyai syahwat.
 Keempat : Nikah hukumnya makruh bagi orang yang tidak punya harta dan tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat). Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk dinikahi, tetapi dia harus mencari harta untuk menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan olehnya. Tentu akan lebih baik, kalau dia mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu. Selain itu, istrinya akan sedikit tidak terurus, dan kemungkinan tidak akan mendapatkan nafkah batin, kecuali sedikit sekali, karena sebenarnya suaminya tidak membutuhkannya dan tidak terlalu tertarik dengan wanita.
Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah,  tetapi tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah adalah makruh.
Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : Dia tidak dimakruhkan menikah tetapi lebih baik baginya untuk konsentrasi dalam ibadah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’I dan mayoritas ulama Syafi’iyah.
Pendapat Kedua : Menikah baginya lebih baik. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan sebagian dari ulama Syafi’iyah serta sebagian dari ulama Malikiyah. Kenapa? karena barangkali istrinya bisa membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, seperti memasak, menyediakan makanan dan minuman, menyuci dan menyetrika bajunya, menemaninya ngobrol, berdiskusi dan lain-lainnya. Menikah sendiri tidak mesti melulu melakukan hubungan seks saja, tetapi ada hal-hal lain yang didapat sepasang suami selama menikah, seperti kebersamaan, kerjasama, keakraban, menjalin hubungan keluarga, ketenangan dan ketentraman.
Kelima : Nikah hukumnya haram, bagi yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung jawab dan akan menelantarkan istri dan anak.
Syekh al-Utsaimin memasukan pernikahan yang haram adalah  pernikahan yang dilakukan di Darul Harbi ( Negara Yang Memusuhi Umat Islam ), karena dikhawatirkan musuh akan mengalahkan umat Islam dan anak-anaknya akan dijadikan budak. Tetapi jika dilakukan dalam keadaan darurat, maka dibolehkan.
Demikian penjelasan singkat tentang pengertian nikah dan hukumnya yang disarikan dari pernyataan para ulama, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam

 



       E.     Memilih Jodoh Menurut Islam
Setiap orang yang berumah tanggah tentu mengharapkan keluarganya akan menjdi keluarga yang sakinah mawadah warakhmah. Kehidupan rumah tangganya dapat menjadi surga didunia dapat menjadi diri dan keluarganya. Apalagi pada saat ini banyak sekali kasus peceraian
keluarga dijumpai ditengah-tengah masyakat yang semakin berkembang ini. Alasan dalam peceraian itu bermacam-macam, dari alas an pendapatan istri lebih besar dari pada suami, selingkuh dengan adanya orang ke tiga, kekerasan dalam rumah tanggah, dan lain-lain.
Maka dari itu dalam membanggun mahligai surge rumah tangga persiapan awal harus dilakukan pada saat memilih jodoh. Islam mengangjurkan kepada umatnya ketika mencari jodoh itu harus berhati-hati baik laki-laki maupun perempuan, hal ini dikarenakan masa depan kehidupan rumah tangga itu berhubungan sangat erat dengan cara memilih suami maupun istri. Untuk itu kita sebagai umat muslim harus memperhatikan kriteria dalam memilih pasangan hidup yang baik.
Dasar firman Allah SWT yang berbunyi :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”(An-Nisa’, 31)
Dan dari sabda Rasullah yang artinya :
“Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabdah : sesunguhnya seorang wanita itu dinikahi atas empat perkara, yaitu : harta, nasab, kecantikan, dan agamanya, maka perolehlah yang mempunyai agama maka akan berdeburlah tanganmu.”[1][6]
Dalam memilih istri hendaknya menjaga sifat-sifat wajib. Syeh jalaluddin Al-qosimi Addimasya’i dalam kitab Al-mauidotul Mukminin menyebutkan ada kriteria bagi laki-laki dalam memilih jodoh :
       a)      Baik agamanya : hendaknya ketika memilih istri itu harus memperhatikan agama dari sisi istri tersebut.
       b)      Luhur budi pekertinya : seorang istri yang luhur budi pekertinya selalu sabar dan tabah menghadapi ujian apapun yang akan dihadapi dalam perjalanan hidupnya.
       c)      Cantik wajahnya : setiap orang laki-laki cenderung menyukai kecantikan begitu pula sebaliknya. Kecantikan wajah yang disertai kesolehahhan prilaku membuat pasangan tentram dan cenderung melipahkan kasih sayangnya kepadanya, untuk sebelum menikah kita disunahkan untuk melihat pasangan kita masing-masing.
       d)     Ringan maharnya : Rasullullah bersabda : “salah satu tanda keberkahan perempuan adalah cepat kawinnya, cepat melahirkannya, dan murah maharnya.
       e)      Subur : artinya cepat memperoleh keturunan dan wanita itu tidak berpenyakitan.
       f)       Masih perawan : jodoh yang terbaik bagi seorang laki-laki perjaka adalah seorang gadis. Rasullullah pernah mengikatkan Jabbir RA yang akan menikahi seorang janda : “alangkah baiknya kalau istrimu itu seorang gadis, engkau dapat bermain-main dengannya dan ia dapat bermain-main denganmu.”
       g)      Keturunan keluarga baik-baik : dengan sebuah hadist Rasullallah besabda : “jauhilah dan hindarkan olehmu rumput mudah tumbuh ditahi kerbau”. Maksudnya : seorang yang cantik dari   
       h)      Bukan termasuk muhrim : kedekatan hubungan darah membuat sebuah pernikahan menjadi hambar, disamping itu menurut ahli kesehatan hubungan darah yang sangat dekat dapat menimbulkan problem genetika bagi keturunannya.
Dalam memilih calon suami bagi anak perempuan hendaknya memilih orang yang memiliki akhlak, kehormatan dan nama baik. Dengan demikian jika ia menggauli istrinya maka istrinya maka ia menggaulinya dengan baik, jika menceraikan maka ia menceraikan dengan baik.
Rasullah bersabda :barang siapa mengawinkan anak perempuannya denga orang yang fasik makasungguh dia telah memutuskan hubungan persaudaraan.”
Seorang laki-laki berkata kepada hasan bin ali, “sesungguhnya saya memiliki seorang anak perempuan maka siapakah menurutmu orang cocok agar saya dapat menikahkan untuknya ?” hasan menjawab :”nikahkanlah dia dengan seorang yang beriman kepada Allah SWT, jika ia mencintainya maka dia akan memuliahkannya dan jika dia membencinya maka dia tidak mendoliminya.



















BAB III
PENUTUP

       A.    Kesimpulan
       1.      Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insane dengan jenis berbeda yaitu    laki-laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad.
       2.      Hikmah dalam pernikahannya itu yaitu :
A.    Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak dan berketurunan.
B.     Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan mampu mengekang syahwat seta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan.
C.     Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn cara duduk-duduk dan bencrengkramah dengan pacarannya.
D.    Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan.
       3.      Tujuan pernikahan :
a.       Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
b.      Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
c.       Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
d.      Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
e.       Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih

        B.     Saran
Dari beberapa Uraian diatas jelas banyaklah kesalahan serta kekeliruan, baik disengaja maupun tidak, dari itu kami harapkan kritik dan sarannya untuk memperbaiki segala keterbatasan yang kami punya, sebab manusia adalah tempatnya salah dan lupa.







DAFTAR PUSTAKA
           Rafi Baihaqi, Ahmad, Membangun Surga Rumah Tangga, (surabayah:gita mediah press, 2006)
           At-tihami, Muhammad, Merawat Cintah Kasih Menurut Syriat Islam, (surabayh : Ampel Mulia, 2004)
           Muhammad  ‘uwaidah, Syaikh Kamil, Fiqih Wanita, (Jakarta:pustaka al-kautsar, 1998)








No comments:

Post a Comment